Tamiang Layang, 26 Juli 2019.
Sebuah Cerita……
Seorang ibu datang mengeluhkan mengenai anak laki-lakinya yang berusia 9 tahun….“Ibu, saya sangat khawatir akan perilaku anak saya…dia sama sekali tidak ada semangat belajar, lebih sering dirumah sendiri dibanding main sama teman-temannya, dan yang paling membuat saya khawatir.…dia beberapa minggu lalu kedapatan sedang mempraktekan dengan gulingnya di kamar selayaknya sedang berhubungan sex. Bahkan semenjak ia ketahuan melakukan hal tersebut, ia jadi seperti budek gak nyambung kalau diajak ngomong…disuruh ambil sendok nasi yang diambil ro*co..sering salah sambung begitu bu…padahal pendengarannya ga ada masalah”.
Pada kasus tersebut didapati bahwa semenjak ia masih kecil (usia 1 tahun) ia terbiasa melihat perlakuan kasar ayahnya terhadap ibunya (baik fisik maupun verbal) bahkan hingga akhirnya kedua orangtuanya bercerai, ibunya menikah lagi dan ayah tirinya pun memperlakukan hal yang sama kepada ibunya. Si anak memang tidak secara langsung mengalami kekerasan namun ia sering melihat perlakuan kekerasan. Singkat cerita yang akhirnya juga berujung bahwa anak tersebut telah terpapar pornografi.
Banyak lagi kasus-kasus serupa yang pernah dikonsultasikan para orangtua mengenai anaknya yang intinya adalah adanya sebuah perubahan perilaku ataupun adanya perilaku negatif yang muncul pada anaknya. Mengapa anak menjadi sangat berarti dan harus mendapat perhatian serius? Karena memori dan kapasitas anak masih berkembang. Nah, jika mendapat kekerasan, pukulan, bentakan, maupun memberikan visual yang membuat anak stress dan depresi akan menghambat potensi anak untuk berkembang. Selain itu, dampak lain yang muncul adalah perubahan perilaku, pola pikir maupun kepribadian anak.
Rasa aman merupakan kebutuhan dasar semua manusia dan hanya bisa didapatkan melalui “sebuah hubungan yang penuh kehangatan dan dilandasi rasa percaya”. Jika hal ini didapatkan maka akan membuat seseorang/individu merasa bahwa dirinya dicintai, diinginkan, dan dihargai.
Kekerasan baik fisik maupun verbal memang efektif untuk membuat anak menjadi patuh ataupun berperilaku sesuai dengan apa yang diinginkan orangtua. Namun apakah itu baik? Anak mungkin bisa saja menjadi patuh, namun kepatuhan yang muncul bukan karena anak tersebut ingin patuh tetapi kapatuhan yang didasari “rasa takut” bukan karena ia mengerti (memiliki pemahaman) akan “sesuatu” yang ia harus patuhi tersebut. Kepatuhan ini pun hanya bersifat sementara atau bahkan hanya akan terjadi didepan orang yang ia takuti tersebut (itu sebabnya banyak orangtua yang menjadi kaget dengan perilaku negatif anaknya karena merasa selama ini / didepan mereka anak berperilaku baik). Orang tua cenderung merasa bahwa cara tersebut (kekerasan) adalah efektif tanpa disadari bahwa hal tersebut menuai dampak negatif jangka panjang baik bagi anak maupun hubungannya dengan orangtua.
Jangan sampai tidak adanya rasa aman dan rasa percaya di dalam rumah membuat anak lari ketempat yang salah. Jadi, ciptakanlah sebuah hubungan yang penuh kehangatan. Sayangilah anak dengan seringnya memberikan pelukan, suara yang lembut, serta perhatian akan kebutuhan anak.
Rensi, M.Psi., Psikolog
(P2TP2A Provinsi Kalimantan Tengah)